Gerakan keagamaan yang terjadi di Papua pada masa lampau ditulis oleh peneliti dari negara-negara barat. Pembahasannya sering dilakukan dalam berbagai forum internasional di negara-negara barat. Data yang disajikan sering akurat lantaran para peneliti fenomena ini sendiri kebanyakan orang barat yang telah tinggal satu dua tahun di kawasan itu. Tetapi toh penulisannya tidak lepas dari pandangan barat yang didalangi oleh kepentingan atau pun agenda pribadi si peneliti itu sendiri.
Belakangan ini muncul juga orang Papua yang menganalisa dan menaruh perhatian terhadap gejala keagamaan ini yang di pulau jawa dikenal sebagai “ Gerakan Ratu Adil.” Peneliti terakhir asal Papua ialah Dr. Noak Nawipa yang menghasilkan: The Concept Of Hai Among The Amungme In The South Central Highlands Of Papua And Its Implication For Non Formal Education (Konsep Hai Diantara Suku Amungme di Bagian Selatan Pengunungan Tengah Papua dan Inmplikasinya Bagi Pendidikan Nonformal). Tesis yang ditulis dalam rangkah memperoleh gelar Doktor Pendidikan ini didasarkan atas penelitian lapangan diantara orang Amungme yang dewasa ini sedang ramai dibicarakan orang melalui media massa sehubungan dengan isu HAM di sana.
Karya ini amat penting bukan saja karena penelitinya seorang putra suku bangsa Mee, dari Kabupaten Paniai, tetapi juga karena tulisan ini juga merupakan disertasi pertama mengenai suku Amungme ini. Disertasi lain tentang suku bangsa ini tengah dipersiapkan di Amerika Serikat oleh John Elenberger, seorang utusan Injil yang sejak pertengahan 1950an telah tinggal di antara orang Amungme atau Damal di Beoga dekat Puncak Jaya, Papua. Pokok penelitiannya: masalah religi orang Damal, jadi tidak jauh beda dengan disertasi dari Dr.Nawipa tadi.
Penelitian untuk disertasi itu sendiri yang dilakukan selama kurang lebih lima bulan diantara orang Amungme di lembah Waa, Timika. Buku ini dimulai dengan mengadakan tinjauan metode pendekatan terhadap religi “Jaman Bahagia” di Papua Barat dan Papua New Guinea, yang dipakai peneliti barat hingga sekarang. Disini kita lihat sederatan nama besar dengan karyanya tentang gerakan keagamaan di kawasan ini seperti: Kenelm Burridge dengan bukunya Mambu: A Melanesian Milenium (1960), Victorio Lantemari, Religions of the Oppresed (1965), F.C Kamma, Koreri,Mesianic Movements in the Biak Numfor Culture Area (1972). Strelan, Search for Salvation (1978), Peter Lawrence, Road Belong Cargo (1964) dan Peter Worsley, The Trumpet Shall Sound (1968), dan nama-nama baru lainnya.
Setelah menelusuri pandangan para sarjana ini, peneliti kita tidak mau dipengaruhi begitu saja oleh penjelasan para peneliti barat tadi. Karena itu ia berupaya untuk menempatkan Hai: Gerakan jaman bahagia orang Amungme ini dalam konteksnya sendiri. Ini dilakukan oleh Dosen STT Walter Post Jayapura ini sembari meletakkan gerakan keagamaan ini dalam konteks sosial- budaya, ekonomi dan politik serta latar belakang historis orang Amungme. Ia mencoba meyakinkan kita bahwa Hai tidak boleh dilihat lepas dari konteksnya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila ia mengulas secara ringkas sejarah kontak suku ini dengan para penyiar agama dari barat dan rombongan ekpedisi Belanda yang sering mengunjungi daerah ini termasuk perjalanan tim ilmuan yang menemukan lokasi emas dan tembaga yang mendatangkan malapetaka bagi orang Amungme sendiri dewasa ini.
Berbeda dengan peneliti barat sebelumnya yang sering menekankan salah satu aspek seperti: sosial ekonomi, politik, pemerasan dan perampasan, dll. Sementara melecehkan penemuan ilmuan lain, Dr.Noakh Nawipa yang pernah menjadi pendeta jemaat Gereja Kemah Injil Papua di Timika ini memandang Hai secara holistik ( hal.51,120). Ini berarti Hai orang Amungme dipandangnya sebagai penampakan dari aspirasi teologi pribumi yang dinafasi oleh mitologi Amungme, manifestasi cita-cita pembebasan dari pemerasan perampasan hak, serta keprihatinan orang Amungme untuk mempertahankan dunia dan integritas kelompoknya ditengah-tengah dunia modern yang tidak menentu ini. Jadi semua aspek ini dilihatnya sebagai muatan konsep Hai itu. Dan kesimpulan ini sendiri ditariknya setelah berupaya menggali mitologi dan tradisi serta sejarah kontak orang Amungme dengan dunia luar. Dengan perkataan lain Dr.Nawipa mau menarik kesimpulannya berdasarkan analisa atas “teks” yang dalam hal ini ialah gerakan-gerekan keagamaan Hai diantara orang Amungme , dengan “konteks” dalam arti sejarah lokal dan tradisi orang Amungme.
Dalam upaya untuk mengajak kita untuk melihat hubungan antara “teks” dan
“ konteks” Dr.Noakh Nawipa mengambarkan sejarah kontak orang Amungme dengan orang barat dan non-barat. Hanya disayangkan bahwa uraiannya tentang “konteks” ini tidak begitu panjang. Sementara uraiannya menyangkut “teks” (mitologi orang Amungme dan gerakan-gerakan keagamaan Hai yang telah dan tengah terjadi disana) dapat dikatakan cukup panjang.
Lalu apa pesan penting dari disertasi ini? Dr. Nawipa berpandangan bahwa kebudayaan orang Amungme yang berporoskan Hai itu dapat ditransformasikan. Caranya ialah dengan pendidikan nonformal. Transformasi yang dimaksud Dr. Nawipa bukan berarti mencabut orang Amungme dari akar-akar kebudayaannya. Ia menolak pandangan bahwa transformasi berarti menyangkal masa lampau dan kebudayaan leluhur. Karena kebudayaan asli dapat menjadi sumber inspirasi bagi orang Amungme membangun hidupnya di dunia ini dan menjadi kekuatan dalam proses integrasi dengan suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. Tentu saja tesis yang dipertahankan di Asia Graduate School of Theology (AGST) Manila, Philipina tanggal 27 Juli yang lalu ini akan menambah jumlah kepustakaan mengenai “religi kontemporer orang Papua”
Tulisan diatas disadur oleh redaksi blog ini dari Majalah Informasi Agama dan Kabudayaan Irian Jaya ‘Deiyai’ edisi perdana September-Oktober 1995. hal.3-5.
NB: Kata Irian Jaya diganti dengan Papua